Testomoni De’pocchi : Menyoal Gerakan Moral Mahasiswa

Membuka lembara-lembaran koran dan buku-buku yang menuliskan cerita tentang perjalanan bangsa ini, tak jarang kita temui beberapa peristiwa yang menggemparkan. Namun terkadang kita tidak sadar bahwa peristiwa-peristiwa itu terlewatkan begitu saja, tanpa sebuah pesan mendalam sebagai wujud sikap kritis kita. Persoalannya adalah kemampuan menganalisa sebagai bagian dari kerja berpikir yang berbeda-beda dan tidak cukup dikembangkan hanya dengan menerjemahkan kata-kata. Sebab sebuah peristiwa tak jarang adalah sebuah perwujudan yang kompleks; termasuk asal-muasalnya, baku kait dan silang sengkarutnya.

Mengamati peristiwa-peristiwa bersejarah di seantero repulik ini, khususnya peristiwa yang berhubungan langsung dengan pergeseran ekonomi, sosial dan politik yang menerobos sampai ke level sistem ataupun yang hanya sebatas kulit luarnya saja, mengingatkan kita akan sebuah nama yang termasuk salah satu elemen penggerak bangsa, mahasiswa. Diantara peristiwa-peristiwa itu, tak jarang terselip nama mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam latar dan alurnya. Akan tetapi, sebuah problema unik tetap saja terikat kuat seolah-olah tak terbantahkan keberadaannya, yakni persoalan kaca mata atau sudut pandang yang berbeda-beda dari setiap insan yang mengamati. Persoalan sudut pandang ini sangat bergantung pada pengalaman dan pengamalan prinsip sebagai hasil interaksi dengan realita. Hal ini sangat mempengaruhi bagaimana sebuah kesan yang dihasilkan ketika mengamati sebuah peristiwa.

Di sini, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam warna dari kesan yang timbul akan sebuah pengamatan peristiwa. Dalam konteks keterlibatan mahasiswa di setiap latar dan alur peristiwa bersejarah negeri ini, tak jarang lontaran kata berbau pesimis dan angkuh timbul sebagai kesan dan respon. Ada yang menganggap bahwa mahasiswa yang turut serta itu adalah pengacau, sumber kerusuhan, atau yang lebih ekstrim lagi sebutan calon koruptor yang berdalih keadilan, dan sebagainya. Hal ini juga patut dihargai sebagai salah satu wujud hak berargumentasi yang ada disetiap diri manusia. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah kadar argumentasi itu yang melambangkan pemahaman yang sempit dan dangkal.

Sebagai dasar kita sebelum memasuki arena yang lebih luas, perlu adanya sebuah kesepakatan tentang spesifikasi mahasiswa yang ikut terjun dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang kita temui. Dalam hal ini, pertama yang bisa kita tafsirkan adalah segelintir mahasiswa itu adalah sekelompok orang-orang yang memiliki jam terbang lebih dari kelompok mahasiswa pada umumnya, kedua, bahwa mereka juga memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Aktivitas mereka diluar kampus sangat berbeda dengan aktivitas mahasiswa pada umumnya. Berdiskusi, membaca berbagai jenis buku, ikut berdemonstrasi dan lain sebagainya adalah corak khas yang mereka perlihatkan. Akan tetapi, apakah ini termasuk peranan Don Quixote[1]? atau yang lebih akrab di sebut Don Kisot yakni tokoh idealis-buta yang tak mau tahu mengenai kenyataan-kenyataan keras yang ada disekelilingnya[2]. Jika benar demikan, maka kita diarahkan kepada sebuah justifikasi bahwa mereka adalah para mahasiswa yang tidak mengenali benar zamannya dengan segala suasana dan kenyaataan yang ada. Namun, bagaimanapun asumsi yang terbentuk dari sebuah sudut pandang kita masing-masing, yang jelas mereka itu adalah sekelompok mahasiswa yang bergerak dan sejarah telah mencatat aktivitas mereka dengan sebutan gerakan mahasiswa.

Lalu apa sebenarnya gerakan mahasiswa itu?  Gerakan mahasiswa terdiri dari dua suku kata yakni gerakan dan mahasiswa. Dalam KBBI, gerakan adalah suatu perbuatan atau keadaan bergerak. Dalam konsep gerak, suatu hal yang tidak bisa dilupakan adalah adanya prinsip kausalitas yakni hubungan antara sebab dan akibat yang terintegrasi didalamnya. Aristoteles dalam konsep kosmologinya menjelaskan bahwa gerak sangat berkaitan langsung dengan klasifikasi sebab, yakni sebab material, sebab formal, sebab efisien dan sebab akhir.[3] Konsep tersebut menambah pondasi-pondasi analisis yang menuntun kita kepada sebuah tesa, bahwa gerak, sekecil apapun, tentu ada penyebabnya. Tidak mungkin sebuah benda bergerak tanpa ada sesuatu yang menjadi penggerak dalam suasana latar belakakangnya.

 

Yang menjadi penting dalam hal ini adalah istilah gerakan tidak terasing dari sebuah usaha kolektif yang timbul oleh suatu sebab tertentu yang ditujukan untuk mewujudkan suatu perubahan dengan modal akumulasi potensialitas.

Usaha kolektif yakni usaha yang dilakukan oleh kelompok yang dapat berupa kumpulan, ikatan, ataupun komunitas yang terorganisir dan sadar akan kondisi sosial lingkungannya. Dalam konteks gerakan mahasiswa, kelompok yang dimaksud sebagai subjeknya tidak lain adalah mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa merupakan sebutan bagi setiap orang yang menempuh pendidikan tinggi di sebuah lembaga perguruan tinggi (universitas). Mahasiswa digambarkan sebagai pelajar tinggi yang memiliki jiwa intelektual, rasa ingin tahu dan kepekaan sosial yang tinggi sebagai tuntutan Tri Dharma perguruan tinggi.

Akan tetapi konsekuensi dari semua itu adalah kecenderungan mahasiswa masuk kedalam babak baru pergerakan moral, yakni pergerakan yang menjunjung tinggi semangat kepahlawanan palsu dan abstrak. Dimana mahasiswa memposisikan kelompoknya sebagai agent of change atau agent of control (layaknya Coboi yang bertarung  ketika ada penjahat dan setelah itu pergi menghilang begitu saja). Apa yang patut dipertanyakan dalam hal ini? yang jelas, gerakan moral yang merasuk ke kelompok mahasiswa adalah sebuah permasalahan baru, layaknya jalan buntu yang dikelilingi tembok dan sempit. Sebab pada dasarnya, gerakan moral pada umumnya bersumber dari empati dan simpati bukan dari kesadaran akan kondisi objektif masyarakat yang tidak lepas dari penghisapan melalui sistem ekonomi, politik dan budaya. Jika diteruskan, gerakan berlandaskan moral akan mengakibatkan jalan panjang menuju demokrasi seutuhnya dibidang ekonomi dan demokrasi dibidang politik akan semakin jauh dan semakin jauh lagi. Sebab, kelompok yang berada dalam garis ini lepas dari pengetahuan akan kondisi rakyat dan  tidak memperoleh kepercayaan massa rakyat.

Sebaiknya kita tidak lupa pengalaman historis yang kita alami dalam mewujudkan proses kebangsaan kita. Tahun-tahun pergerakan Mahasiswa dan pemuda Indonesia pasca kemerdekaan (1950-1960an) menunjukkan sebuah semangat perjuangan politik demi mewujudkan Indonesia yang adil. Perjuangan politik yang timbul kala itu menunjukkan bahwa adanya kesadaran perspektif di kalangan mahasiswa dan pemuda yang tidak hanya di ruang-ruang kampus tetapi juga di lingkungan masyarakat. Hal ini seharusnya menjadi titik simpul pertama yang dapat menjadi landasan dalam merumuskan pergerakan mahasiswa sekaligus meyakinkan kita seyakin-yakinnya bahwa perjuangan politik berlandaskan idiologi dan kesadaran kolektif massa rakyat adalah keharusan yang seharusnya harus! ‘

 

[1]Don Quixote adalah tokoh roman karya sastrawan besar Spanyol, Cervantes. Don Quixote dikisahkan pernah menyerang sekawanan kambing yang dikiranya tentara musuh.
[2] Nugroho Notosusanto, Menegakkan Wawasan Almamater, 1983,Jakarta: UI-Press.
[3] Hetheringtton,Cosmology,Hlm.98
Pos ini dipublikasikan di Open Vizier. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar