Perempuan tua bercaping, tak bersandal, badan kurus dan membungkuk, lumayan matanya masih awas mengamati setiap sisi trotoar yang ia lewati. Caping dikepala, menutupi rambut setengah memutih dari sinar panas matahari. Sepetak usia yang tersisa, memotong ranting kering di hutan kampus pinggir jalan kota yang selalu sibuk ramai penghuni. Selalu ia lakukan, selewat pagi, empat tahun belakangan ini. Di depan pintu gerbang itu ia berhenti. Menarik napas sejenak sembari melihat keramaian kampus dan hiruk-pikuk kendaraan. Ia pernah terjatuh di depan pintu itu. lemas dan begitu lelah sebabnya. Duduk, menyandarkan badan pada tiang gerbang kampus. Jantung bergerak serasa ingin berontak. Tubuh sudah terlalu lama lupa akan tua. Kayu bakar berserakan. Sebuah golok terselip diantara ranting-ranting yang tersusun. Ia bisu, menahan sedih yang mengerjat. Ia mengerling pandang ujung golok. Terlalu mudah untuk mengakhiri semua. Ia teringat suaminya. Seorang tukang becak dayung, di tusuk oleh anak sulungnya karena memukul dan menyiksa dirinya. Ia tak mampu menahan tangis. Di depan matanya, sang suami dibantai sampai tak bernyawa oleh Pindo anak sulungnya. Darah berlumur, bak tumpahan oli kotor hitam di baju buruh bengkel. Begitu pekat.
Ia gemetar. Begitupun anak sulungnya itu. Berdua saling berteriak. Amroi dan Elida sedang tidak dirumah. Mereka berdua senang bermain di rumah adik sang ayah di dusun seberang.
Berjam-jam ia dan anak sulungnya saling beradu air mata. Tak sanggup bicara. Rasa marah dan dendam terkubur oleh sesal yang liar.
“Lihat apa yang kau lakukan, dasar laknat! Kau pembunuh! Bunuh juga aku ibumu!”
“Tidak …”
“Kenapa? Itu ayahmu, puaskan hatimu anakku, lakukan! Ayo, bunuh juga ibu!”
Anak sulung itu menjerit. Bersimpuh di depan tubuh sang ayah yang sudah terkapar. Beribu kata maaf terlontar nyaring dari mulutnya. Ia ingat dipangku ayahnya,Ia ingat memancing bersama ayahnya, dulu,ketika hari mulai sore.
Anak sulung Pindo sering pergi memancing bersama ayahnya di sungai kecil pinggir sawah desa seberang, sembari bercerita dan bercanda tentang adikya Amroi dan Elida yang tidak bisa berenang. Anak sulung Pindo tidak mungkin lupa.
“Sudah, kau tidak perlu berteriak lagi! Hentikan saja tangismu, biarkan ayahmu pergi,” ujar ibunya. “Ini hukum bagi dia, tidak mungkin bisa terganti, alam akan memberi jawaban. Mungkin, jika bukan ayahmu, bisa jadi aku yang terhempas dan mati.”
Malam semakin meninggi, ibu dan anak sulung Pindo bergegas menggali kuburan sang ayah tepat di bawah perapian tempat mereka biasa memasak. Serangga malam ikut menghadiri pesta duka. Namun sebetulnya tak tahu arti duka. Gerimis menetes. Ujung cangkul dan sekop bercengkrama dengan tanah yang basah. Lelaki muda dekil itu menurunkan tubuh ayahnya kedalam lubang petak yang digalinya sendiri. Sarung biru bermotif bunga menemani ayahnya tidur untuk selamanya.
“Tidak perlu kau menangis,”ujar ibunya. “Paling tidak kau sudah menguburkannya dengan layak. Kau tentu tahu,mesti ada sekam yang tak dibiarkan memanas. Semuanya pantas dimaklumi.”
Serangga berhenti bernyanyi. Gelap malam menghalangi pandang. Bulan dan bintangpun enggan bersinar. Seolah tahu akan adanya sesal. Tidak seorangpun yang tahu. Semua lenyap tak tersisa. Amroi dan Elida tentu bertanya-tanya. Waktu yang akan menjawabnya, toh mereka juga masih kecil dan mungil.
Tepat tujuh hari setelah kematian ayahnya. Anak sulung Pindo pamit kepada ibunya. Pamit bukan untuk keluar dusun atau keluar kota. Tidak ada kata kembali. Setelah petir menyambar dusun. Membuat nyala berwarna bara. Sang alam berkata lain. Anak sulung Pindo pergi menemui ayahnya. Disana ia bisa beroleh maaf. Mungkin saja tidak. Perempuan bercaping itu sudah tahu terlebih dahulu. Ada mimpi yang berpesan kata kepadanya.
Perempuan tua berbaju kumuh, kini hidup dengan Amroi dan Elida. Membungkam dalam dusta, berat-sangsi. Ia telah memutuskan untuk melupakan semua. Memulai cerita baru bersama Amroi dan Elida, tak ada lagi Pindo dan sang ayah. Ia jadi penakut. Tak sanggup menatap mata orang dan anaknya. Meski mereka tidak tahu.
Ia memilih hidup dengan mencari kayu bakar di pinggir hutan kampus, tak jauh dari rumah. Merawat Amroi yang kini memakai seragam sekolahan. Sedangkan Elida masih kanak. Belum tahu arti sebuah tanya.Pernah sekali Elida bertanya kepada Amroi.
“kak, kenapa ayah belum pulang?”
“Entahlah” jawab Amroi tak peduli.
Ibunya tentu mendengar. Duduk dan bersimbah airmata. Napas tersendat menahan deru tangisnya. Ini tekanan baginya. Atas rahasia duka yang bengis. Berharap mati sebelum mereka tahu, mungkin setelah mereka dewasa dan meraih suka atas hidupnya.
Amroi sudah lazimya tak perduli. Ia tidak suka ayahnya. Ia sama seperti Pindo, tidak sanggup menyaksikan tepakan sang ayah di sekujur tubuh ibunya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam dan bergumul dalam benci. Mendekap Elida, sikecil yang tidak bisa menahan suara tangis.
“Jangan menangis. Lihat aku punya golek untukmu.” Begitu ia biasa menghibur Elida, meski percuma, tak mengapa berkali-kali.
Perempuan tua berbadan kurus, bau kalang tanah, selalu resah. Hasil penjualan kayu bakar, memang terbatas agak. Untuk makan saja kurang. Namun tak mengapa. Amroi dan Elida tahu bahara sang ibu berbau nestapa dan pilu.
Perempuan tua itu, sering melihat Elida putri bungsunya melanglang diantara kendaraan yang berhenti diperempatan jalan. Menawarkan jasa seadanya, dengan pengebut ditangan. Mencari pemilik kendaraan yang berbaik hati mau menerimanya, meskipun sekedar untuk memberi. Saat lampu berwarna merah, penggebut diusapkan ke setiap kendaraan yang ada. Barangkali ada yang bersadik hati memberi, tetapi sungguh jarang sekali. Tertalu sering Elida meringis. Jangan bilang memberi uang, senyum saja sulit ia temui. Penghuni kota bukan tidak bernurani. Mereka sangka Elida sama dengan yang lainnya, berkroni dan bermuka dua.
“Ia anak yang baik, semoga alam menyertainya” gumam ibunya. Perempuan tua itu tak kuasa melihat mala yang dirasakan anaknya. Ia seolah saja tidak tahu. Memendam semuanya. Elida cukup berjasa untuk kelangsungan hidup keluarga. Uang yang diperoleh Elida bisa membeli makan untuknya sendiri. Paling tidak semua bisa makan. Meski seadanya, tak mengapa.
Elida biasanya pergi diam-diam. Tanpa diketahui ibunya. Selepas pagi, ibunya pergi mencari kayu bakar, barulah ia pergi melangkah bersama dinginnya pagi, sendiri. Kadang kala ia mengantuk, bercokol di trotoar jalan sembari melihat kendaraan dan mahasiwa yang lalu-lalang. Sempat ia melihat Amroi melangkah jenuh disisi seberang jalan. Tetapi Amroi tidak sendiri. Dia bersama berandalan-berandalan kota lainnya, menyusuri sisa kehidupan yang mungkin tidak berganti. “Kak Roi…..” teriak Elida memanggilnya. Amroi kejut memandang kearahnya. Elida ingin segera berlari kesisi seberang jalan. Lalu-lalang kendaraan menghentikan langkahnya. Amroi berlari menjauhi tempat itu. Berlari meninggalkan Elida adiknya. Tidak tahu apa yang dipikirkan Amroi. Elida hanya menangis dan kembali bercokol di trotoar jalan, menelungkupkan wajahnya dilutut kaki. Ia dan ibunya sudah lama tidak melihat Amroi. Sebulan lamanya Amroi tidak pernah lagi pulang kerumah. Amroi menjadi liar, kasar, layaknya serigala bertaring singa.
Perempuan tua bercaping, lengai dan cemar, kembali kerumah selepas petang. Membawa makanan yang dibeli diwarung untuknya dan Elida. Ia hanya membisu ketika makan bersama Elida. Pandangannya kosong sembari menikmati nasi dengan lalapan dan sepenggal kerupuk hasil berbagi dengan Elida. Perempuan tua itu kelu. Tidak berani menatap mata Elida yang penuh dengan tanya.Bersembunyi dibalik gelap, suka dalam sepi, alam belum menjawab, namun suatu saat pasti.
….