Antara

 

Hey kau gadis bertudung sutra
aku menatapmu dari kejauhan
mataku terhalang sinar-sinar terang; palsu.
Sesekali aku berpaling membayang
kakiku, tanganku, sekujur tubuhku perih-perih mengering
sekelilingku ilalang-ilalang kerdil memuja-muja angin.

Hey kau gadis ber-anting melati
kenapa tidak kau tiupkan saja seruling di tanganmu itu?
agar ilalang-ilalang berhenti memuja
dan aku sembari melangkah menuju sumber tiupanmu
hingga aku merasuk dalam tarikan nafasmu
kan ku’peluk lembut segenap nadi rasamu
perih-perih membau’pun aku acuh

Hey kau gadis yang enggan menoleh
haruskah aku berburuk sangka kepada Dewa-dewa?
sekali waktu aku berpaling membayang, perihku bertambah satu
sepertinya para Dewa bersembunyi di balik angin
menusuk melalui duri-duri ilalang,
membakar melalui sinar-sinar
ataukah teriakanku membusuk di telingaku?

Hey kau gadis seputih awan
tak maksud hati merayu dan mengoles madu di bibirku;
bukan juga memelas atas hangat parasmu
setangkai mawar’pun aku tak harap punya
segala tentang rasa dan wangi-wangi kisah juga mengeras, membatu;
aku tak tahu makna pesan tatapanku
seketika aku kagum pada sinar-sinar,
seringkali aku berpikir melawan duri-duri,
sesekali aku menyesali perih-perih;
berulang-ulang.

Hey kau gadis pembunuh gelisah
kau tahukah aku berada dimana?
BM Boy, Jogja 2015

Dipublikasi di poetry | Meninggalkan komentar

Sebuah Persetujuan

 

Ku’lahirkan kepulan-kepulan asap
seirama dengan tiupan nafasku
berpencar mengelabui angin
menjelma dingin.

Biarkan saja ia melayang kelangit-langit malam
mengembara semau-mau
menampik ragu sekalipun malu

Betapapun megahnya tawa
serta-menyerta di ruang-ruang terang
yang mengolok sisi sebelah malam
bahkan melantunkan irama penggusar,
aku senantiasa awas
menulis malu diantara syair berhasrat

Sejak dari hati
aku sudah bersetuju dengan asap
sebelum ia terlahir
aku titip amaran disetiap molekulnya
tiada lain, hanyalah kata-kata pelipur
setengah kering
aku ingin bertegur sapa
kepada dia penantang-penantang malam
yang tidur berselimut tumpukan angan
tanpa motif dan ukiran

Kepulan asap yang kulahirkan
berpuluh-puluh kali
pun ada mau dan niat
ia geram melihat malam segelap warna hitam
sungguh inginnya membuyarkan kepura-puraan
dari setiap kehitam-hitaman;
malam-malam

Kulahirkan kepulan asap
berpuluh-puluh kali lagi
tanda setuju

Dipublikasi di poetry | Meninggalkan komentar

Testomoni De’pocchi : Menyoal Gerakan Moral Mahasiswa

Membuka lembara-lembaran koran dan buku-buku yang menuliskan cerita tentang perjalanan bangsa ini, tak jarang kita temui beberapa peristiwa yang menggemparkan. Namun terkadang kita tidak sadar bahwa peristiwa-peristiwa itu terlewatkan begitu saja, tanpa sebuah pesan mendalam sebagai wujud sikap kritis kita. Persoalannya adalah kemampuan menganalisa sebagai bagian dari kerja berpikir yang berbeda-beda dan tidak cukup dikembangkan hanya dengan menerjemahkan kata-kata. Sebab sebuah peristiwa tak jarang adalah sebuah perwujudan yang kompleks; termasuk asal-muasalnya, baku kait dan silang sengkarutnya.

Mengamati peristiwa-peristiwa bersejarah di seantero repulik ini, khususnya peristiwa yang berhubungan langsung dengan pergeseran ekonomi, sosial dan politik yang menerobos sampai ke level sistem ataupun yang hanya sebatas kulit luarnya saja, mengingatkan kita akan sebuah nama yang termasuk salah satu elemen penggerak bangsa, mahasiswa. Diantara peristiwa-peristiwa itu, tak jarang terselip nama mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam latar dan alurnya. Akan tetapi, sebuah problema unik tetap saja terikat kuat seolah-olah tak terbantahkan keberadaannya, yakni persoalan kaca mata atau sudut pandang yang berbeda-beda dari setiap insan yang mengamati. Persoalan sudut pandang ini sangat bergantung pada pengalaman dan pengamalan prinsip sebagai hasil interaksi dengan realita. Hal ini sangat mempengaruhi bagaimana sebuah kesan yang dihasilkan ketika mengamati sebuah peristiwa.

Di sini, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam warna dari kesan yang timbul akan sebuah pengamatan peristiwa. Dalam konteks keterlibatan mahasiswa di setiap latar dan alur peristiwa bersejarah negeri ini, tak jarang lontaran kata berbau pesimis dan angkuh timbul sebagai kesan dan respon. Ada yang menganggap bahwa mahasiswa yang turut serta itu adalah pengacau, sumber kerusuhan, atau yang lebih ekstrim lagi sebutan calon koruptor yang berdalih keadilan, dan sebagainya. Hal ini juga patut dihargai sebagai salah satu wujud hak berargumentasi yang ada disetiap diri manusia. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah kadar argumentasi itu yang melambangkan pemahaman yang sempit dan dangkal.

Sebagai dasar kita sebelum memasuki arena yang lebih luas, perlu adanya sebuah kesepakatan tentang spesifikasi mahasiswa yang ikut terjun dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang kita temui. Dalam hal ini, pertama yang bisa kita tafsirkan adalah segelintir mahasiswa itu adalah sekelompok orang-orang yang memiliki jam terbang lebih dari kelompok mahasiswa pada umumnya, kedua, bahwa mereka juga memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Aktivitas mereka diluar kampus sangat berbeda dengan aktivitas mahasiswa pada umumnya. Berdiskusi, membaca berbagai jenis buku, ikut berdemonstrasi dan lain sebagainya adalah corak khas yang mereka perlihatkan. Akan tetapi, apakah ini termasuk peranan Don Quixote[1]? atau yang lebih akrab di sebut Don Kisot yakni tokoh idealis-buta yang tak mau tahu mengenai kenyataan-kenyataan keras yang ada disekelilingnya[2]. Jika benar demikan, maka kita diarahkan kepada sebuah justifikasi bahwa mereka adalah para mahasiswa yang tidak mengenali benar zamannya dengan segala suasana dan kenyaataan yang ada. Namun, bagaimanapun asumsi yang terbentuk dari sebuah sudut pandang kita masing-masing, yang jelas mereka itu adalah sekelompok mahasiswa yang bergerak dan sejarah telah mencatat aktivitas mereka dengan sebutan gerakan mahasiswa.

Lalu apa sebenarnya gerakan mahasiswa itu?  Gerakan mahasiswa terdiri dari dua suku kata yakni gerakan dan mahasiswa. Dalam KBBI, gerakan adalah suatu perbuatan atau keadaan bergerak. Dalam konsep gerak, suatu hal yang tidak bisa dilupakan adalah adanya prinsip kausalitas yakni hubungan antara sebab dan akibat yang terintegrasi didalamnya. Aristoteles dalam konsep kosmologinya menjelaskan bahwa gerak sangat berkaitan langsung dengan klasifikasi sebab, yakni sebab material, sebab formal, sebab efisien dan sebab akhir.[3] Konsep tersebut menambah pondasi-pondasi analisis yang menuntun kita kepada sebuah tesa, bahwa gerak, sekecil apapun, tentu ada penyebabnya. Tidak mungkin sebuah benda bergerak tanpa ada sesuatu yang menjadi penggerak dalam suasana latar belakakangnya.

 

Yang menjadi penting dalam hal ini adalah istilah gerakan tidak terasing dari sebuah usaha kolektif yang timbul oleh suatu sebab tertentu yang ditujukan untuk mewujudkan suatu perubahan dengan modal akumulasi potensialitas.

Usaha kolektif yakni usaha yang dilakukan oleh kelompok yang dapat berupa kumpulan, ikatan, ataupun komunitas yang terorganisir dan sadar akan kondisi sosial lingkungannya. Dalam konteks gerakan mahasiswa, kelompok yang dimaksud sebagai subjeknya tidak lain adalah mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa merupakan sebutan bagi setiap orang yang menempuh pendidikan tinggi di sebuah lembaga perguruan tinggi (universitas). Mahasiswa digambarkan sebagai pelajar tinggi yang memiliki jiwa intelektual, rasa ingin tahu dan kepekaan sosial yang tinggi sebagai tuntutan Tri Dharma perguruan tinggi.

Akan tetapi konsekuensi dari semua itu adalah kecenderungan mahasiswa masuk kedalam babak baru pergerakan moral, yakni pergerakan yang menjunjung tinggi semangat kepahlawanan palsu dan abstrak. Dimana mahasiswa memposisikan kelompoknya sebagai agent of change atau agent of control (layaknya Coboi yang bertarung  ketika ada penjahat dan setelah itu pergi menghilang begitu saja). Apa yang patut dipertanyakan dalam hal ini? yang jelas, gerakan moral yang merasuk ke kelompok mahasiswa adalah sebuah permasalahan baru, layaknya jalan buntu yang dikelilingi tembok dan sempit. Sebab pada dasarnya, gerakan moral pada umumnya bersumber dari empati dan simpati bukan dari kesadaran akan kondisi objektif masyarakat yang tidak lepas dari penghisapan melalui sistem ekonomi, politik dan budaya. Jika diteruskan, gerakan berlandaskan moral akan mengakibatkan jalan panjang menuju demokrasi seutuhnya dibidang ekonomi dan demokrasi dibidang politik akan semakin jauh dan semakin jauh lagi. Sebab, kelompok yang berada dalam garis ini lepas dari pengetahuan akan kondisi rakyat dan  tidak memperoleh kepercayaan massa rakyat.

Sebaiknya kita tidak lupa pengalaman historis yang kita alami dalam mewujudkan proses kebangsaan kita. Tahun-tahun pergerakan Mahasiswa dan pemuda Indonesia pasca kemerdekaan (1950-1960an) menunjukkan sebuah semangat perjuangan politik demi mewujudkan Indonesia yang adil. Perjuangan politik yang timbul kala itu menunjukkan bahwa adanya kesadaran perspektif di kalangan mahasiswa dan pemuda yang tidak hanya di ruang-ruang kampus tetapi juga di lingkungan masyarakat. Hal ini seharusnya menjadi titik simpul pertama yang dapat menjadi landasan dalam merumuskan pergerakan mahasiswa sekaligus meyakinkan kita seyakin-yakinnya bahwa perjuangan politik berlandaskan idiologi dan kesadaran kolektif massa rakyat adalah keharusan yang seharusnya harus! ‘

 

[1]Don Quixote adalah tokoh roman karya sastrawan besar Spanyol, Cervantes. Don Quixote dikisahkan pernah menyerang sekawanan kambing yang dikiranya tentara musuh.
[2] Nugroho Notosusanto, Menegakkan Wawasan Almamater, 1983,Jakarta: UI-Press.
[3] Hetheringtton,Cosmology,Hlm.98
Dipublikasi di Open Vizier | Meninggalkan komentar

“Demi nafasku yang tinggal satu persatu, dan tulangku yang keluar dan kering; aku sebut kau! Demi benih-benih yang kutabur di ladangku, dan duka anakku yang terasing dari dunia luhurnya; aku sebut kau!
Maaf, aku tak punya materai disakuku. Air mataku yang jatuh di kebunku, sudah cukup jadi saksi; aku sebut kau tulang punggung bangsaku!”
“Demi nafas itu, dan tulang kering yang keluar itu; kau sebut aku? Demi benih-benih itu dan duka itu; kau sebut aku?
Ya, kulengkapi materai itu! biar ladang tetap subur tanpa air matamu; aku sebut benar ucapanmu! Janji suci aku dan bangsaku.
Tapi…tapi…. negeri kita kering duhai bangsaku, seperti ladang yang kau tangisi itu. Dan aku, hanya bisa bersandiwara duhai bangsaku, sebab ada senjata di dekat telingaku”
Che, Jogja 14 Desember 2014

Dipublikasi pada oleh boyboang | Meninggalkan komentar

Terlahir Untuk Mati

Siapkan benih dan peluru
bukakan pintu mata hitam agar bergejolak
pedih prahara duka tumbuh bersama sinar matahari pendusta
mencaci paras dan menghukum jiwa kering kerontang

Tumpukan kaki pada tanah yang kering
sandarkan jiwa pada hati yang buta mencari
hiburkan hati si kumbang yang tertancap duri, segera!

Karena aroma akan menjadi tanah
tutup kembali pintu mata hitam yang bergejolak

Dipublikasi di poetry | Tag | Meninggalkan komentar

PEREMPUAN BERCAPING

GambarPerempuan tua bercaping, tak bersandal, badan kurus dan membungkuk, lumayan matanya masih awas mengamati setiap sisi trotoar yang ia lewati. Caping dikepala, menutupi rambut setengah memutih dari sinar panas matahari. Sepetak usia yang tersisa, memotong ranting kering di hutan kampus pinggir jalan kota yang selalu sibuk ramai penghuni. Selalu ia lakukan, selewat pagi, empat tahun belakangan ini. Di depan pintu gerbang itu ia berhenti. Menarik napas sejenak sembari melihat keramaian kampus dan hiruk-pikuk kendaraan. Ia pernah terjatuh di depan pintu itu. lemas dan begitu lelah sebabnya. Duduk, menyandarkan badan pada tiang gerbang kampus. Jantung bergerak serasa ingin berontak. Tubuh sudah terlalu lama lupa akan tua. Kayu bakar berserakan. Sebuah golok terselip diantara ranting-ranting yang tersusun. Ia bisu, menahan sedih yang mengerjat. Ia mengerling pandang ujung golok. Terlalu mudah untuk mengakhiri semua. Ia teringat suaminya. Seorang tukang becak dayung, di tusuk oleh anak sulungnya karena memukul dan menyiksa dirinya. Ia tak mampu menahan tangis. Di depan matanya, sang suami dibantai sampai tak bernyawa oleh Pindo anak sulungnya. Darah berlumur, bak tumpahan oli kotor hitam di baju buruh bengkel. Begitu pekat.

 Ia gemetar. Begitupun anak sulungnya itu. Berdua saling berteriak. Amroi dan Elida sedang tidak dirumah. Mereka berdua senang bermain di rumah adik sang ayah di dusun seberang.

Berjam-jam ia dan anak sulungnya saling beradu air mata. Tak sanggup bicara. Rasa marah dan dendam terkubur oleh sesal yang liar.
“Lihat apa yang kau lakukan, dasar laknat! Kau pembunuh! Bunuh juga aku ibumu!”
“Tidak …”
“Kenapa? Itu ayahmu, puaskan hatimu anakku, lakukan! Ayo, bunuh juga ibu!”
Anak sulung itu menjerit. Bersimpuh di depan tubuh sang ayah yang sudah terkapar. Beribu kata maaf terlontar nyaring dari mulutnya. Ia ingat dipangku ayahnya,Ia ingat memancing bersama ayahnya, dulu,ketika hari mulai sore.

Anak sulung Pindo sering pergi memancing bersama ayahnya di sungai kecil pinggir sawah desa seberang,  sembari bercerita dan bercanda tentang adikya Amroi dan Elida yang tidak bisa berenang. Anak sulung Pindo tidak mungkin lupa.

“Sudah, kau tidak perlu berteriak lagi! Hentikan saja tangismu, biarkan ayahmu pergi,” ujar ibunya. “Ini hukum bagi dia, tidak mungkin bisa terganti, alam akan memberi jawaban. Mungkin, jika bukan ayahmu, bisa jadi aku yang terhempas dan mati.”

Malam semakin meninggi, ibu dan anak sulung Pindo bergegas menggali kuburan sang ayah tepat di bawah perapian tempat mereka biasa memasak. Serangga malam ikut menghadiri pesta duka. Namun sebetulnya tak tahu arti duka. Gerimis menetes. Ujung cangkul dan sekop bercengkrama dengan tanah yang basah. Lelaki muda dekil itu menurunkan tubuh ayahnya kedalam lubang petak yang digalinya sendiri. Sarung biru bermotif bunga menemani ayahnya tidur untuk selamanya.

“Tidak perlu kau menangis,”ujar ibunya. “Paling tidak kau sudah menguburkannya dengan layak. Kau tentu tahu,mesti ada sekam yang tak dibiarkan memanas. Semuanya pantas dimaklumi.”

Serangga berhenti bernyanyi. Gelap malam menghalangi pandang. Bulan dan bintangpun enggan bersinar. Seolah tahu akan adanya sesal. Tidak seorangpun yang tahu. Semua lenyap tak tersisa. Amroi dan Elida tentu bertanya-tanya. Waktu yang akan menjawabnya, toh mereka juga masih kecil dan mungil.

Tepat tujuh hari setelah kematian ayahnya. Anak sulung Pindo pamit kepada ibunya. Pamit bukan untuk keluar dusun atau keluar kota. Tidak ada kata kembali. Setelah petir menyambar dusun. Membuat nyala berwarna bara. Sang alam berkata lain. Anak sulung Pindo pergi menemui ayahnya. Disana ia bisa beroleh maaf. Mungkin saja tidak. Perempuan bercaping itu sudah tahu terlebih dahulu. Ada mimpi yang berpesan kata kepadanya.

Perempuan tua berbaju kumuh, kini hidup dengan Amroi dan Elida. Membungkam dalam dusta, berat-sangsi. Ia telah memutuskan untuk melupakan semua. Memulai cerita baru bersama Amroi dan Elida, tak ada lagi Pindo dan sang ayah. Ia jadi penakut. Tak sanggup menatap mata orang dan anaknya. Meski mereka tidak tahu.
Ia memilih hidup dengan mencari kayu bakar di pinggir hutan kampus, tak jauh dari rumah. Merawat Amroi yang kini memakai seragam sekolahan. Sedangkan Elida masih kanak. Belum tahu arti sebuah tanya.Pernah sekali Elida bertanya kepada Amroi.
“kak, kenapa ayah belum pulang?”
“Entahlah” jawab Amroi tak peduli.
Ibunya tentu mendengar. Duduk dan bersimbah airmata. Napas tersendat menahan deru tangisnya. Ini tekanan baginya. Atas rahasia duka yang bengis. Berharap mati sebelum mereka tahu, mungkin setelah mereka dewasa dan meraih suka atas hidupnya.

Amroi sudah lazimya tak perduli. Ia tidak suka ayahnya. Ia sama seperti Pindo, tidak sanggup menyaksikan tepakan sang ayah di sekujur tubuh ibunya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam dan bergumul dalam benci. Mendekap Elida, sikecil yang tidak bisa menahan suara tangis.
“Jangan menangis. Lihat aku punya golek untukmu.” Begitu ia biasa menghibur Elida, meski percuma, tak mengapa berkali-kali.

Perempuan tua berbadan kurus, bau kalang tanah, selalu resah. Hasil penjualan kayu bakar, memang terbatas agak. Untuk makan saja kurang. Namun tak mengapa. Amroi dan Elida tahu bahara sang ibu berbau nestapa dan pilu.

Perempuan tua itu, sering melihat Elida putri bungsunya melanglang diantara kendaraan yang berhenti diperempatan jalan. Menawarkan jasa seadanya, dengan pengebut ditangan. Mencari pemilik kendaraan yang berbaik hati mau menerimanya, meskipun sekedar untuk memberi. Saat lampu berwarna merah, penggebut diusapkan ke setiap kendaraan yang ada. Barangkali ada yang bersadik hati memberi, tetapi sungguh jarang sekali. Tertalu sering Elida meringis. Jangan bilang memberi uang, senyum saja sulit ia temui. Penghuni kota bukan tidak bernurani. Mereka sangka Elida sama dengan yang lainnya, berkroni dan bermuka dua.

“Ia anak yang baik, semoga alam menyertainya” gumam ibunya. Perempuan tua itu tak kuasa melihat mala yang dirasakan anaknya. Ia seolah saja tidak tahu. Memendam semuanya. Elida cukup berjasa untuk kelangsungan hidup keluarga. Uang yang diperoleh Elida bisa membeli makan untuknya sendiri. Paling tidak semua bisa makan. Meski seadanya, tak mengapa.

Elida biasanya pergi diam-diam. Tanpa diketahui ibunya. Selepas pagi, ibunya pergi mencari kayu bakar, barulah ia pergi melangkah bersama dinginnya pagi, sendiri. Kadang kala ia mengantuk, bercokol di trotoar  jalan sembari melihat kendaraan dan mahasiwa yang lalu-lalang. Sempat ia melihat Amroi melangkah jenuh disisi seberang jalan. Tetapi Amroi tidak sendiri. Dia bersama berandalan-berandalan kota lainnya, menyusuri sisa kehidupan yang mungkin tidak berganti. “Kak Roi…..” teriak Elida memanggilnya. Amroi kejut memandang kearahnya. Elida ingin segera berlari kesisi seberang jalan. Lalu-lalang kendaraan menghentikan langkahnya. Amroi berlari menjauhi tempat itu. Berlari meninggalkan Elida adiknya. Tidak tahu apa yang dipikirkan Amroi. Elida hanya menangis dan kembali bercokol di trotoar  jalan, menelungkupkan wajahnya dilutut kaki. Ia dan ibunya sudah lama tidak melihat Amroi. Sebulan lamanya Amroi tidak pernah lagi pulang kerumah. Amroi menjadi liar, kasar, layaknya serigala bertaring singa.

Perempuan tua bercaping, lengai dan cemar, kembali kerumah selepas petang. Membawa makanan yang dibeli diwarung untuknya dan Elida. Ia hanya membisu ketika makan bersama Elida. Pandangannya kosong sembari menikmati nasi dengan lalapan dan sepenggal kerupuk hasil berbagi dengan Elida. Perempuan tua itu kelu. Tidak berani menatap mata Elida yang penuh dengan tanya.Bersembunyi dibalik gelap, suka dalam sepi, alam belum menjawab, namun suatu saat pasti.

….

Dipublikasi di Cerpen | Tag | Meninggalkan komentar

Diputaran Waktu

Diputaran Waktu

Tumbuhlah bersama terang
siapkan raga yang kokoh
lawan dan tepislah terpaan angin
Bukan air mata, tak jua darah
yang mampu melawan kering kerontangnya jalan
Ya, kau ilalang kerdil !
tak bisa kau menembus tanah sendiri
tumbuhlah terus – teruslah tumbuh
sapalah sang surya, ibunya waktu
bernyanyilah, meski hanya getaran kecil
kokoh kau bersahaja, yakinlah!
Bila surya selalu datang
pastikan kau semakin tinggi
semakin,,
untuk hantam dunia congkak
saat tak kuat lagi melawan matahari
tetaplah kuat ragamu berdiri
meski kering dan rapuh,
meski tak mampu menusuk langit,
bertahanlah untuk sekedar menantang
Hei kau ilalang kerdil
pastikan kepada bumi
serukan kepada angin
teriakkan kepada matahari
bisikkan kepada akarmu
bahwa kau bukan sekedar ilalang yang mati!
Che, Yogyakarta 20 Maret 2014

Dipublikasi di poetry | Meninggalkan komentar

Megapolitan dan Aglomerasi

Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada sekadar penghematan aglomerasi. Teori ukuran kota yang optimal menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi sebagai hasil tarik-menarik antara kekuatan sentripetal dengan sentrifugal. Kekuatan sentripetal yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi adalah semua aktivitas ekonomi termasuk industri ke daerah perkotaan. Kekuatan sentrifugal adalah kebalikan dari kekuatan sentrifetal, yaitu kekuatan dispersi. Ini diperlihatkan oleh kenaikan upah tenaga kerja yang terampil dan kasar serta kenaikan gaji manajer yang mendorong perusahaan memilih lokasi di luar pusat kota. Perkembangan kota sangat berkorelasi dengan perkembangan infrastruktur dan fasilitas yang ada. Sementara kegiatan ekonomi berbasis industri menjanjikan perkembangan pada daerah atau lokasi yang mencakup perbaikan infrastruktur dan fasilitas. Pasalnya melalui kegiatan industri, daerah akan mendapat penghasilan yang lebih besar.

Aglomerasi industri yang menghasilkan kluster-kluster industri akan menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Hal ini dipengaruhi karena banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Sementara, lapangan kerja yang tersedia tidak memadai dan persebarannya tidak merata diseluruh daerah. Disamping itu, pembangunan daerah yang mencakup infrastruktur dan fasilitas juga belum tersebar merata. Terkonsentrasinya suatu kegiatan ekonomi disuatu daerah akan menyebabkan daerah itu mengalami perkembangan yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah disekitarnya. Bahkan apabila pengaruh tersebut menyebar kebeberapa kota disekitarnya, maka akan menghasilkan kota yang berbeda wilayah administrasinya menjadi sama dalam corak dan fungsi wilayahnya. Jika diproses dan direncanakan lebih lanjut lagi, hal ini akan menghasilkan sebuah kota yang lebih besar lagi yang merupakan gabungan dari beberapa kota( megapolitan).

Megapolitan adalah kumpulan pemerintah kota besar (kota inti) dan kota-kota sekitar dalam satu kesatuan geografis yang merupakan satu kesatuan perencanaan pembangunan dan dikelola dalam satu koordinasi, tanpa menghilangkan kewenangan setiap pemerintah kota(kuncoro,2011:272). Konsep megapolitan dilihat sebagai upaya pengelolaan kota yang lebih baik untuk melayani sejumlah besar populasi penduduknya yang beraktivitas, bekerja, dan bertempat tinggal di wilayah tersebut. Dengan demikian, konsep megapolitan yang bersifat multidisiplin mencakup berbagai aspek, yaitu ekonomi, politik, fisik lingkungan hidup, transportasi, sosial budaya dan aspek-aspek turunannya. Megapolitan itu terbentuk apabila terdapat suatu daerah pemerintahan yang paling maju dan beberapa entitas pemerintahan daerah yang lebih kecil bersatu padu secara harmonis untuk melakukan pembangunan berkelanjutan melalui satu pola perencanaan jangka panjang yang dibuat oleh otoritas yang ditunjuk oleh pemerintah. Disamping itu, aglomerasi industri dapat mengakibatkan suatu daerah yang maju akan bergabung dengan daerah-daerah sekitarnya sebagai tuntutan dari tingginya populasi dan mobilitas.

Studi Kasus Jabodetabekjur:Megapolitan Indonesia

Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur yang menjadi penyangga bersama Jakarta diwacanakan menjadi kawasan megapolitan. Megapolitan menggambarkan perkembangan wilayah perkotaan yang sangat pesat. Jakarta bersama kawasan penyangganya dilihat sebagai satu kesatuan karena terjadi interaksi keseharian yang intensif.Jabodetabekjur merupakan konsentrasi utama kawasan perkotaan di Indonesia di mana sekitar 20 persen dari jumlah penduduk perkotaan di Indonesia berada dikawasan itu pada saat ini. Perpaduan pembangunan Jakarta dan daerah sekitarnya secara alami sudah terjadi. Gejala perkembangan urban region menjadi megapolitan didorong oleh banyak faktor. Semuanya mengarah pada aktivitas ekonomi.

Di Indonesia, landasan konsep megapolitan sebenarnya telah ada, yaitu pasal 227 ayat 3c dan PP No. 47/1997 tentang RTRWN pasal 5 ayat 2c (kuncoro,2011:271). Jadi, pertimbangan yuridis untuk pembentukan megapolitan sudah ada, namun hal yang penting adalah bagaimana pencapaian konsep megapolitan ini dan bagaimana juga pengaruhnya terhadap masyarakat mengingat Indonesia adalah negara yang mengandalkan pembangunan berdasarkan pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 2000, jumlah penduduk di Jabodetabekjur telah mencapai 13,7 juta jiwa. Pada 10 tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat lebih dari 100% menjadi 28,8 juta jiwa. Jumlah sebesar itu membuat Jabodetabekjur digolongkan ke dalam kelompok 10 kota besar didunia. Pada tahun 2010, jumlah penduduk di Jakarta menurut BPS sebesar 9,6 juta jiwa dengan luas wilayah sebesar 661, 62 meter persegi. Jika ditambah dengan masyarakat commuter, maka jumlah penduduknya mencapai lebih dari 13 juta jiwa. Jumlah sebesar itu diakibatkan oleh tingginya tingkat industri di Jakarta dan daerah penyangganya. Jumlah itu juga merupakan sakah satu syarat terbentuknay kota megapolitan.

            Wacana daerah megapolitan di Indonesia merupakan suatu bagian dari dampak aktivitas ekonomi pada daerah maju yang berpengaruh. Walaupun masih sekadar wacana, hal ini sudah mampu memberikan suatu pemahaman tentang dampak kegiatan ekonomi dalam hal ini adalah industri yang tidak hanya pada aspek ekonomi itu sendiri tetapi sampai pada aspek pemerintahan dan administrasi wilayah. Walaupun konsep megapolitan belum terwujud, namun efek dari proses menuju hal itu sudah mulai terlihat yakni adanya kemungkinan kenaikan harga yang sangat drastis akibat dari persaingan oleh pelaku-pelaku industri tertentu.

Efek aglomerasi industri, memang sangat menguntungkan pada pelaku-pelaku industri dan aktivitas ekonomi itu sendiri terkait adanya penghematan biaya produksi dan distribusi, akan tetapi konsep megapolitan sebagai dampak dari aglomerasi itu harus tetap dipertimbangkan,mengingat Indonesia masih memiliki kekurangan dalam hal sebaran atau pemerataan kesejahteraan penduduk. Hal yang paling ditakutkan adalah, ketimpangan dan kesenjangan wilayah yang sebesarnya-besarnya, apabila konsep atau wacana megapolitan berhasil diwujudkan tanpa memperhatikan keadaan atau kondisi daerah lainnya yang tergolong belum maju.

Awalnya, aglomerasi industri berada di daerah metropolitan utama yakni Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Pada satu dekade kemudian, daerah aglomerasi meluas tidak hanya ke daerah-daerah metropolitan utama, tetapi juga daerah-daerah sekitar metropolitan utama yang sering disebut extended metropolitan region. Daerah-daerah aglomerasi industri pada kelanjutannya menyebar sampai Jakarta Barat, Bogor, Bekasi, Tanggerang, dan Bandung(kuncoro,2011). Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya kemungkinan bersatunya aglomerasi di kedua kota metropolitan anatara Jakarta dan bandung. Pasalnya kedua daerah tersebut memiliki corak dan tingkat kemajuan yang sama. Disamping itu pada tahun 2000, telah terbentuk suatu koridora atau jaringan kota yang menghubungkan aglomerasi di Greater Jakarta dan Bandung sehingga menjadi satu kesatuan daerah aglomerasi yang besar (kuncoro,2011). Hal tersebut semakin membenarkan wacana daerah megapolitan yang sesungguhnya.

Dipublikasi di REgplan | Tag , | Meninggalkan komentar

Bangkit dan Membangkitkan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari Sabang sampai Merauke ini bukanlah sekedar sederetan kata ilmu bumi, bukan pula sekadar Geografical entity, tetapi dari sabang sampai Merauke adalah satu kesatuan kebangsaan, adalah satu State entity, adalah satu kesatuan kenegaraan yang bulat kuat, adalah juga kesatuan tekad dan idiologi yang amat dinamis. Artinya adalah semua pulau yang berada dibawah naungan NKRI adalah suatu bentuk kesatuan yang terbentuk akibat adanya satu tekad dan keingian bersama untuk lepas dari segala bentuk kesengsaraan menuju kepada kesejahteraan yang abadi. Dari Sabang sampai Merauke sebagai suatu bentuk kesatuan kebangsaan, tidak terlepas dari unsur perbedaan. Bermacam-macam suku bangsa, bahasa,budaya, dan agama menjadi hal yang unik di tanah air Indonesia. Sedikit saja terjadi gesekan di lingkungan masyarakat, maka akan berpeluang untuk mengakibatkan suatu kejadian yang fatal. Sebut saja  perang suku, pemberontakan, dan tawuran antar warga yang dapat memicu disintegrasi bangsa.

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, kebangkitan nasional merupakan peristiwa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme diikuti dengan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan diikrarkannya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi pemicu dan pelopor pergerakan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan, menuju negara yang merdeka. Bila disimpulkan, bahwa kebangkitan nasional merupakan peristiwa bangkitnya semangat rakyat Indonesia untuk melawan suatu keadaan yang sulit pada masanya. Jauh setelah Indonesia merdeka, ada suatu peristiwa yang tidak lepas dari lembar sejarah tanah air, yaitu reformasi (1998). Peristiwa reformasi dikenang dengan peristiwa aksi massa diberbagai daerah diseluruh tanah air, yang pada akhirnya mengakibatkan Suharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Terlepas dari semua kontroversi yang ada dan pandangan politis apapun, peristiwa reformasi sudah berhasil menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih mempunyai semangat untuk bangkit dari sesuatu keadaan yang sulit pada masanya. Kedua peristiwa sejarah ini sudah pantas dijadikan sebagai bahan acuan dan renungan oleh seganab bangsa Indonesia, untuk bangkit dari keterpurukan menuju kesejahteraan yang abadi.

Tahun 2014 adalah tahun politik, dimana pesta demokrasi sedang berlangsung untuk menemukan pemimpin-pemimpin daerah dan negara yang baru. Di tahun 2014 ini juga, bangsa Indonesia berharap-harap cemas akan datangnya suatu era baru, yakni era liberalisasi perdagangan. Tahun 2015 mendatang, adalah suatu agenda bersama semua negara ASEAN untuk mewujudkan kerjasama ekonomi yang dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC). Untuk mewujudkan AEC ini, seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa,  dan investasi, sebagaimana digariskan dalam AEC Blueprint. Dalam hal ini, Indonesia secara faktual belum bisa menentukan kesiapan seluruh komponen yang akan terlibat dalam liberalisasi perdagangan yang direncanakan. Pemerintah Indonesia hanya berupaya meyakinkan seluruh masyarakatnya, bahwa sepenuhnya Indonesia siap untuk menghadapi resiko yang ada sebagai akibat dari liberalisasi ini, namun secara fakta pemerintah tidak bisa membuktikan kesiapan seperti apa yang sudah tercipta sampai pada hari ini. Sementara itu, diluar dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 28,03 juta jiwa (BPS,2013). Jumlah itu menunjukkan masih belum terciptanya kesejahteraan sosial bagi 28,03 juta jiwa rakyat Indonesia, dan akibat dari kemiskinan itu, sudah pasti banyak pula rakyat Indonesia yang tidak bisa merasakan pendidikan yang berkualitas bahkan tidak mengeyam dunia pendidikan sama sekali. Lalu bagaimana bisa siap menghadapi era globalisasi yang erat dengan persaingan itu? Disamping agenda liberalisasi ekonomi itu, Indonesia kini sedang mengalami proses disintegrasi bangsa. Maraknya perkelahian antar pelajar, kekerasan seksual, perang antar suku, gerakan separatis, perselisihan antar pemeluk agama dan lain sebagainya adalah bukti rendahnya rasa kesatuan dan persatuan dari segenab rakyat Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan suatu momentum dan perhatian yang penuh dari pemerintah dan segenap rakyat Indonesia untuk mempelopori semangat kebangkitan dan perubahan untuk lepas dari kesulitan yang ada. Semboyan Bhineka tunggal ika dan semangat gotong royong mutlak perlunya untuk didengungkan kembali dan dilaksanakan sepenuhnya didalam kehidupan sosial masyarakat, untuk mewujudkan bangsa yang bebas dari kemiskinan dan kebodohan serta dari proses disintegrasi.

Untuk bangkit dari keterpurukan, tidak selamanya harus berbuah pemaksaan, tidak selamanya harus berbuah kericuhan, dan tidak selamanya pula harus berbau perselisihan. Tetapi sebuah kebangkitan dapat dimulai dari hati dan kemauan serta tekad yang bulat kuat, dari segenap rakyat Indonesia, baik pemerintah, mahasiswa,petani, pedagang kecil, pegawai negeri, pegawai swasta dan lain sebagainya

Dipublikasi di Open Vizier | Tag , | Meninggalkan komentar

Generasi Tukang

Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu genarasi baru. Bukan suatu generasi setahun pasca kermerdakaan ,bukan pula generasi pasca reformasi, tetapi perpaduan antara keduanya namun jelas bukan suatu bentuk dari proses regenarasi dari keduanya. Pemuda-pemudi indonesia yang mengaku sebagai agen pelopor, agen of changes atau agen-agen sejenisnya yang terlahir setelah pesta pergerakan tahun 1966 dan 1998. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu mengapa hal itu terjadi, mereka juga tahu siapa saja yang berjasa maupun berdosa dalam penggulingan orde lama dan orde baru, intinya mereka tentu tahu tentang sejarah. Tetapi pemuda-pemudi ini bukanlah pemuda-pemudi bambu runcing, bukan pemuda-pemudi yang dibakar semangat progresif-revolusioner ala Bung Karno, bukan pula pemuda-pemudi yang merasa tercengkram oleh ke-otoriterannya rezim Suharto, mereka inilah yang disebut sebagai generasi terbaru dan ter-barukan oleh zaman. Merekalah generasi ke-68 tahun setelah kemerdekaan,merekalah pemuda-pemudi pesanan kemajuan zaman.

Sepintas tentang zaman ini; Indonesia kini merasakan dampak majunya peradaban dan ilmu pengetahuan. Zaman ini bukan zamannya perang, bukan zaman krisis moneter seperti tahun 89, bukan pula zaman-zamannya revolusi? Tetapi zaman ini mengharuskan Indonesia untuk menerima kemajuan disegala bidang termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dulu seorang ibu hanya bisa menggunakan kayu bakar untuk menanak nasi, kini sudah banyak ibu-ibu Indonesia yang menggunakan rice cooker untuk menanak nasi, bahkan sudah banyak pula ibu-ibu yang bisa menyuruh babunya untuk sekedar menanak nasi. Ya, maju memang maju. Senang memang senang..
kita bahagia dizaman ini, laksana suatu bangsa yang tertuliskan dicerita Ramayana dan Mahabrata, adem ayem?. Sepintas, semua berjalan normal dan mudah. Semudah seorang panglima bangun pagi lalu menyambar segelas kopi dan menyudut sebatang rokok didepan TV. Begitulah potret Indonesia dan zamannya kini. Zaman yang maju dan serba canggih. Tetapi, disatu sisi Indonesia belum mampu membuat kemajuan bagi negaranya sendiri. Teknologi canggih, itu teknologi hasil import, pembangunan yang dasyat, itu bermodalkan asing. Artinya kemajuan yang ada di Indonesia adalah berkat kemajuan bangsa lain. Jelas, begitu banyak barang-barang elektronik dan sejenisnya yang bertuliskan made in china atau made in korea, atau made in europe membanjiri rumah-rumah dan membanjiri setiap sudut kota di Indonesia. Dengan begini, banyaknya produk import yang berat sebelah, Indonesia harus berani mengakui bahwa zaman ini bukan zamannya Indonesia, melainkan zaman yang dihasilkan oleh kemajuan bangsa lain dan Indonesia tak kuat untuk membendungnya, sementara tidak ada keberanian untuk menempuh jalan lain, selain terjun dan tenggelam.

Kembali lagi ke generasi baru ini, generasi yang terlahir semenjak Indonesia sudah terjun kedalam arus kemajuan bangsa lain. Generasi yang melek matanya melihat indahnya peradaban, indahnya social branding yang segala sesuatunya dinilai atas materi. Generasi ini yang kemudian dengan manutnya mengikuti zaman yang bukan zaman bangsanya, suatu zaman yang mengakibatkan sebagian pribumi Indonesia ketinggalan zaman, tertinggal dari saudara sebangsa dan setanah airnya. Generasi inilah yang disebut sebagai generasi tukang. Suatu lapisan masyarakat yang terdidik dan memiliki ilmu pengetahuan, tetapi dipersiapkan atau mempersiapkan dirinya sebagai product maker yang berorientasi pada individual profit dan dunia kerja yang sempit. Majunya penerapan teknologi diberbagai bidang diikuti pula dengan berkembangnya sistem pendidikan. Namun perlu digaris-bawahi  bahwa kemajuan pendidikan itu juga merupakan sebagai suatu kesatuan pesanan kemajuan zaman. Artinya adalah pendidikan itu kini sudar bergeser paradigmanya dan tujuan serta fungsinya. Dengan dalih kemajuan bangsa, pendidikan kini diposisikan untuk menghasilkan tenaga pekerja yang tangguh yang mengabdi pada uang dan kekayaan. Sempurnalah kini orientasi generasi tukang di negeri ini adalah pekerjaan dengan upah yang tinggi, kesenangan hidup dan keselamatan individu tanpa adanya semangat berbangsa dan bernegara. Hal itu terbukti dengan melesatnya budaya individualisme, hedonisme dan apatisme dikalangan mereka. Persoalan politik sudah menjadi hal yang tabu yang muak untuk dibicarakan bagi mereka, diskusi dan budaya kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi hanya sebatas formalitas belaka, bukan sebagai ajang pembenahan diri, kelompok sosial, dan negara. Jelaslah kini, generasi ini menjadi generasi apatis dan bahkan apolitis.

Sisi lain dari generasi ini, generasi yang pintar dan handal dalam berproses menjadi pintar. Bernaung dibawah semangat belajar, dan bersekutu dengan buku-buku untuk sesuatu yang disebut nilai. Nilai disini bukanlah setara dengan nilai-nilai yang kompleks, melainkan sesuatu yang belum jelas terukur tetapi dijadikan sebagai indikator tingkat pengetahuan. Berbicara tentang nilai-nilai, jelaslah itu merupakan sesuatu yang kompleks karena mencakup semua komponen tujuan pendidikan yaitu karakter, budi pekerti, kemampuan, logika, kepedulian dan perbuatan aplikatifnya. Nilai dalam hal ini yang terlihat dalam bentuk angka kumulatif, jelaslah bukan suatu interpretasi yang lengkap terhadap kedudukan seseorang dalam berproses menjadi pintar. Seseorang belum bisa terlihat secara utuh melalui nilai yang diperoleh, karena nilai hanya memperlihatkan kondisi dan kemampuan seseorang pada suatu waktu yang sangat sementara. Namun kemajuan zaman kini, mengahasilkan suatu sistem sosial yang menempatkan nilai diatas segala kemampuan yang real. Sistem yang terbentuk mencakup suatu struktur dan alur kehidupan administrasi sosial, dimana untuk memperoleh kebahagiaan setiap orang membutuhkan uang, uang diperoleh dari pekerjaan dan pekerjaan diperoleh atas ilmu yang dimiliki, ilmu yang dimiliki dilihat dari satuan nilai yang diperoleh. Maka dari itu, nyatalah individualisme dikalangan sosial, nyatalah pendidikan mengabdi kepada nilai, dan sempurnalah hidup hanya untuk kekayaan. Sementara itu, generasi ini menganut kuat sistem sedemikian. Genarasi ini berpegang teguh pada prinsip, bahwa pendidikan bertujuan untuk memperoleh nilai bukan untuk menerapkan nilai-nilai. Hancurlah jiwa kebangsaan, hancurlah keadilan sosial, dan nyatalah mental-mental budak oleh sebab generasi pesanan zaman.

Dipublikasi di Open Vizier | Tag , , , | Meninggalkan komentar