Generasi Tukang

Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu genarasi baru. Bukan suatu generasi setahun pasca kermerdakaan ,bukan pula generasi pasca reformasi, tetapi perpaduan antara keduanya namun jelas bukan suatu bentuk dari proses regenarasi dari keduanya. Pemuda-pemudi indonesia yang mengaku sebagai agen pelopor, agen of changes atau agen-agen sejenisnya yang terlahir setelah pesta pergerakan tahun 1966 dan 1998. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu mengapa hal itu terjadi, mereka juga tahu siapa saja yang berjasa maupun berdosa dalam penggulingan orde lama dan orde baru, intinya mereka tentu tahu tentang sejarah. Tetapi pemuda-pemudi ini bukanlah pemuda-pemudi bambu runcing, bukan pemuda-pemudi yang dibakar semangat progresif-revolusioner ala Bung Karno, bukan pula pemuda-pemudi yang merasa tercengkram oleh ke-otoriterannya rezim Suharto, mereka inilah yang disebut sebagai generasi terbaru dan ter-barukan oleh zaman. Merekalah generasi ke-68 tahun setelah kemerdekaan,merekalah pemuda-pemudi pesanan kemajuan zaman.

Sepintas tentang zaman ini; Indonesia kini merasakan dampak majunya peradaban dan ilmu pengetahuan. Zaman ini bukan zamannya perang, bukan zaman krisis moneter seperti tahun 89, bukan pula zaman-zamannya revolusi? Tetapi zaman ini mengharuskan Indonesia untuk menerima kemajuan disegala bidang termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dulu seorang ibu hanya bisa menggunakan kayu bakar untuk menanak nasi, kini sudah banyak ibu-ibu Indonesia yang menggunakan rice cooker untuk menanak nasi, bahkan sudah banyak pula ibu-ibu yang bisa menyuruh babunya untuk sekedar menanak nasi. Ya, maju memang maju. Senang memang senang..
kita bahagia dizaman ini, laksana suatu bangsa yang tertuliskan dicerita Ramayana dan Mahabrata, adem ayem?. Sepintas, semua berjalan normal dan mudah. Semudah seorang panglima bangun pagi lalu menyambar segelas kopi dan menyudut sebatang rokok didepan TV. Begitulah potret Indonesia dan zamannya kini. Zaman yang maju dan serba canggih. Tetapi, disatu sisi Indonesia belum mampu membuat kemajuan bagi negaranya sendiri. Teknologi canggih, itu teknologi hasil import, pembangunan yang dasyat, itu bermodalkan asing. Artinya kemajuan yang ada di Indonesia adalah berkat kemajuan bangsa lain. Jelas, begitu banyak barang-barang elektronik dan sejenisnya yang bertuliskan made in china atau made in korea, atau made in europe membanjiri rumah-rumah dan membanjiri setiap sudut kota di Indonesia. Dengan begini, banyaknya produk import yang berat sebelah, Indonesia harus berani mengakui bahwa zaman ini bukan zamannya Indonesia, melainkan zaman yang dihasilkan oleh kemajuan bangsa lain dan Indonesia tak kuat untuk membendungnya, sementara tidak ada keberanian untuk menempuh jalan lain, selain terjun dan tenggelam.

Kembali lagi ke generasi baru ini, generasi yang terlahir semenjak Indonesia sudah terjun kedalam arus kemajuan bangsa lain. Generasi yang melek matanya melihat indahnya peradaban, indahnya social branding yang segala sesuatunya dinilai atas materi. Generasi ini yang kemudian dengan manutnya mengikuti zaman yang bukan zaman bangsanya, suatu zaman yang mengakibatkan sebagian pribumi Indonesia ketinggalan zaman, tertinggal dari saudara sebangsa dan setanah airnya. Generasi inilah yang disebut sebagai generasi tukang. Suatu lapisan masyarakat yang terdidik dan memiliki ilmu pengetahuan, tetapi dipersiapkan atau mempersiapkan dirinya sebagai product maker yang berorientasi pada individual profit dan dunia kerja yang sempit. Majunya penerapan teknologi diberbagai bidang diikuti pula dengan berkembangnya sistem pendidikan. Namun perlu digaris-bawahi  bahwa kemajuan pendidikan itu juga merupakan sebagai suatu kesatuan pesanan kemajuan zaman. Artinya adalah pendidikan itu kini sudar bergeser paradigmanya dan tujuan serta fungsinya. Dengan dalih kemajuan bangsa, pendidikan kini diposisikan untuk menghasilkan tenaga pekerja yang tangguh yang mengabdi pada uang dan kekayaan. Sempurnalah kini orientasi generasi tukang di negeri ini adalah pekerjaan dengan upah yang tinggi, kesenangan hidup dan keselamatan individu tanpa adanya semangat berbangsa dan bernegara. Hal itu terbukti dengan melesatnya budaya individualisme, hedonisme dan apatisme dikalangan mereka. Persoalan politik sudah menjadi hal yang tabu yang muak untuk dibicarakan bagi mereka, diskusi dan budaya kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi hanya sebatas formalitas belaka, bukan sebagai ajang pembenahan diri, kelompok sosial, dan negara. Jelaslah kini, generasi ini menjadi generasi apatis dan bahkan apolitis.

Sisi lain dari generasi ini, generasi yang pintar dan handal dalam berproses menjadi pintar. Bernaung dibawah semangat belajar, dan bersekutu dengan buku-buku untuk sesuatu yang disebut nilai. Nilai disini bukanlah setara dengan nilai-nilai yang kompleks, melainkan sesuatu yang belum jelas terukur tetapi dijadikan sebagai indikator tingkat pengetahuan. Berbicara tentang nilai-nilai, jelaslah itu merupakan sesuatu yang kompleks karena mencakup semua komponen tujuan pendidikan yaitu karakter, budi pekerti, kemampuan, logika, kepedulian dan perbuatan aplikatifnya. Nilai dalam hal ini yang terlihat dalam bentuk angka kumulatif, jelaslah bukan suatu interpretasi yang lengkap terhadap kedudukan seseorang dalam berproses menjadi pintar. Seseorang belum bisa terlihat secara utuh melalui nilai yang diperoleh, karena nilai hanya memperlihatkan kondisi dan kemampuan seseorang pada suatu waktu yang sangat sementara. Namun kemajuan zaman kini, mengahasilkan suatu sistem sosial yang menempatkan nilai diatas segala kemampuan yang real. Sistem yang terbentuk mencakup suatu struktur dan alur kehidupan administrasi sosial, dimana untuk memperoleh kebahagiaan setiap orang membutuhkan uang, uang diperoleh dari pekerjaan dan pekerjaan diperoleh atas ilmu yang dimiliki, ilmu yang dimiliki dilihat dari satuan nilai yang diperoleh. Maka dari itu, nyatalah individualisme dikalangan sosial, nyatalah pendidikan mengabdi kepada nilai, dan sempurnalah hidup hanya untuk kekayaan. Sementara itu, generasi ini menganut kuat sistem sedemikian. Genarasi ini berpegang teguh pada prinsip, bahwa pendidikan bertujuan untuk memperoleh nilai bukan untuk menerapkan nilai-nilai. Hancurlah jiwa kebangsaan, hancurlah keadilan sosial, dan nyatalah mental-mental budak oleh sebab generasi pesanan zaman.

Pos ini dipublikasikan di Open Vizier dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar